Sempadan Sungai Afvoer Modongan Sooko Mojokerto Diperjualbelikan
Dibangun Tempat Usaha, Kini Menolak Ditertibkan
SOOKO, Jawa Pos Radar Mojokerto – Lahan dan bangunan liar (bangli) di sepanjang sempadan Afvoer Modongan, Kecamatan Sooko, diperjualbelikan dengan harga puluhan juta. Kini, rencana penertiban ratusan bangli di tepi sungai itu menuai penolakan dari sebagian pedagang yang menuntut tempat relokasi.
Terdapat 107 bangli di Desa Modongan dan Desa Wringinrejo yang akan dibongkar. Para pemilik bangli sudah diberi surat peringatan pertama (SP1) awal Mei lalu dan SP2 pada 25 Mei agar melakukan pembongkaran secara mandiri. Adapun pembongkaran paksa akan dilakukan setelah SP3 dilayangkan pekan ini.
Rencana penertiban bangunan tempat usaha yang rutin memicu banjir luapan itu terus menuai pro dan kontra. Gejolak muncul dari puluhan pedagang di Modongan yang menolak digusur. ”Kami meminta agar ada solusi relokasi. Kalau asal dibongkar terus selanjutnya kita mau makan apa,” kata Samsul, salah satu pemilik bangli, kemarin (4/6).
Dirinya menyayangkan tahapan penertiban yang tak didahului dengan sosialisasi. Menurutnya, para pemilik bangli baru mengetahui adanya rencana pembongkaran setelah SP2. Total waktu sekitar 2 bulan yang diberikan sebelum nantinya tiba hari eksekusi dinilainya tidak cukup. ”Kita mau bongkar sendiri juga tidak punya pandangan mau berjualan di mana lagi,” ujar pedagang STMJ tersebut.
Pria 50 tahun itu mengakui, dirinya tak pernah melayangkan izin maupun membayar retribusi pemanfaatan lahan sempadan ke instansi yang berwenang. Menurut dia, sebagian besar bangli yang sudah puluhan tahun berdiri juga dibangun dengan cara demikian. Hanya saja, menurutnya, lahan sempadan sungai di tepi jalan alternatif Mojokerto-Jombang itu telah dijadikan hak milik oleh beberapa orang.
Alhasil, sejumlah pedagang dapat menempati bangunannya dengan hasil membeli maupun menyewa. Bangli-bangli sengaja dibangun untuk disewakan dan dijual dengan harga puluhan juta. Bahkan, sekadar untuk menempati lahan kosong. ”Ada penjual mi ayam yang bayar Rp 30 juta. Itu cuma lahan, tidak ada bangunannya,” lontar warga asli Desa Modongan tersebut. Dengan biaya mahal demikian, praktis mereka menolak jika digusur. ”Apa tidak kasihan, dahulu belinya mahal-mahal,” imbuhnya.
Praktik jual beli bangli dan lahan juga dibenarkan oleh pedagang lainnya. Marlan, pemilik lapak tambal ban menyebut ruko-ruko di sepanjang bantaran kali itu dibangun secara permanen untuk disewakan dan dijual. ”Banyak yang sewa-sewa, ada juga yang istilahnya bangunan yang ditinggal terus dibeli untuk dipakai,” tandasnya.
Sementara itu, Koordinator Pengawasan dan Pengendalian Bidang Bina Manfaat Dinas PU Sumber Daya Air (DPU SDA) Jatim Ari Pudji Astono menegaskan, keberadaan bangli di bantaran sungai tersebut ilegal. Para pemilik bangli mendirikan bangunan tanpa izin dan tidak pernah membayar retribusi ke negara.
Hasil peninjauan di lapangan, keberadaan bangli di Afvoer Modongan menyebabkan sejumlah persoalan pada sungai. Antara lain penyempitan aliran sungai, masalah sampah, hingga hambatan akses pemeliharaan. Akibatnya banjir luapan sungai langganan merendam jalan, rumah, dan fasilitas umum.
Menanggapi adanya protes dari sebagian pemilik bangli, pihaknya menegaskan tetap akan melakukan penertiban. Tuntutan solusi yang diajukan dinilai tak berdasar. Sebab, para pemilik bangli mendirikan bangunan berupa tempat usaha dan tempat tinggal di bantaran yang sudah jelas dilarang.
Ari menyatakan, banjir langganan akibat keberadaan bangli telah merugikan masyarakat luas. ”Saya juga kurang paham solusi apa yang diminta. Mereka menempati sempadan sungai tanpa izin, kok tiba-tiba minta solusi dan ganti rugi. Kan lucu juga,” jelasnya. (adi/ron)
0 Comments