Eksekusi Koruptor

Published by on

Oleh: Fahrul Khakim

Lelaki sinting itu tergeletak di hadapan Mayang. Tak sia-sia dia membiusnya dari hotel dan mengikatnya di rel kereta. Dendamnya harus terbayar.

LELAKI itu sudah kelelahan berteriak minta tolong. Mereka berada di daerah yang sepi di tepi kota. Mayang tertawa lalu mengesap vodkanya. Dia mulai meracau.

’’Aku hanya ingin cintanya.’’
’’Siapa?’’ tanya lelaki tua itu putus asa.
’’Tiga orang itu: Arjuna, Zeus, dan Petra,’’
’’Apa kau waras?’’ Lelaki itu sudah menyerah.
’’Yah, aku mencintai ketiganya dalam waktu yang bersamaan.’’
’’Alibimu?’’
’’Hidup cuma sekali, Sayang. Kapan lagi aku bisa mencintai tiga dewa cinta sekaligus.’’
’’Kau benar-benar rakus, Nona!’’ ejek pria tua sambil menarik-narik tangannya yang terikat erat.
’’Bukan aku. Tapi Zeuz yang paling payah ciuman. Dia bahkan tidak suka lipstik.’’
’’Tapi kenapa kau tetap mencintainya?’’
’’I love his money.’’
’’Dasar Sundal!’’
’’Terserah. Lagian dia juga tidak pernah melakukan kekerasan cinta seperti Petra…,’’
’’Apa?’’
’’Yah, Petra. Dia anak pendeta, tapi agak kurang waras. Bayangkan, setiap habis berciuman denganku dia akan memukuli punggungku dengan sabuknya yang sekeras andesit. Memerangi dosa daging katanya.’’
’’Kenapa kau bisa tahan bersamanya?’’
’’Mau bagaimana lagi, lagipula dia aset yang sangat penting dalam pekerjaanku. Dia punya banyak koneksi dalam mempromosikan investasi-investasi pertambangan pada klien-klien.’’
’’Tunggu-tunggu, kau memacari mereka bertiga sekaligus. Bagaimana bisa?’’
’’Asal tahu saja, aku tahu kok aku juga bukanlah calon istri bagi mereka. Dari pada mewek-mewek nggak mutu karen patah hati, lebih baik aku cari aja orang yang memang ingin bahagia bersamaku.’’
’’Selingkuh dalam perselingkuhan, ya? Polemik kesetiaan cinta abad 21. Zaman edan.’’
’’Arjuna lebih edan dari yang kamu bayangkan.’’
’’Maksudmu?’’
’’Dia pernah menciumku di depan bosku sendiri saat aku masih bekerja di bar.’’
’’Lalu?’’
’’Besoknya bosku marah-marah dan curhat sambil nangis bombay padaku. Dia memohon-mohon.’’
’’Untuk apa?’’
’’Menyerahkan Arjuna padanya. Bosku itu serakah. Sudah lama dia naksir Arjuna.’’
’’Keputusanmu?’’
’’Tentu saja kutolak mentah-mentah. Bosku itu perempuan berkepala enam. Arjuna-ku yang tampan masih dua puluh lima tahun. Kinyis-kinyis. Perjaka ting-ting. Enak saja tua bangka itu mau merebutnya.’’
’’Reaksinya?’’
’’Dia memecatku. Hanya karena aku tidak memberikan kekasih hatiku untuk memenuhi nafsu binatangnya.’’
’’Tragis.’’
’’Jangan kaget, birokasi negara ini banyak dihuni oleh binatang jalang yang haus nafsu keduniawian.’’
’’Separah itukah?’’
’’Yah, sangat sadis dan memuakkan. Makanya jangan heran jika negara kita ini hancur-hancuran. Bencana di mana-mana. Seolah Tuhan itu begitu gemas dengan tingkah polah kita yang seperti binatang, tak bermoral.’’
’’Tuhan memang begitu murka. Bagaimana kabar si Arjuna itu?’’
’’Seminggu ini dia baik-baik saja. Kemarin kami baru saja mengunjungi makam ibuku di Tanah Abang.’’
’’Sekarang di mana dia?’’
’’Ada di kolong obat.’’
’’Hah! Kau benar-benar mabuk. Bercandamu kelewatan.’’
’’Terima kasih, Paman. Tapi putra paman benar-benar membenci paman, bahkan tak pernah mau menemuimu. Aku tahu paman tidak punya anak dari istri sah karena Rena mandul.’’
’’Maksudmu?’’ Lelaki itu panik.
’’Arjuna salah satu pelanggan setiaku. Dia pernah diusir Rena waktu ke rumahmu sewindu tahun yang lalu. Dia tahu kau membunuh ibunya sehingga dia sangat dendam dengan keluargamu.’’
’’Benarkah?’’ Lelaki itu menggeliat-liat, berusaha melepaskan diri dari ikatan tali yang kuat di rel kereta.
’’Tentu saja, Paman! Aku tahu kemarin Paman baru mengetahui bahwa dia adalah putra semata wayang anda yang sudah lama menghilang sebab selingkuhan anda menitipkannya pada sauadara di Kalimantan.’’
’’Dia anakku…,’’ Dia meratap perih.
’’Kenapa Paman menangis? Bukankah selama ini paman membencinya?’’
Panas menjalari tubuh pria itu sampai ke ubun-ubun dan menggertak-gertak tapi tetap tak berdaya karena terbelenggu. ’’Akan kubunuh kau…,’’
’’Tenanglah, Paman. Anda mau mati dengan cara apa? Ditembak dengan pistol. Bukankah itu yang sering anda lakukan jika ada para pendemo dan mahasiswa yang menggertak jalan politik anda.’’
’’Siapa kau? Kau cuma gadis mabuk. Jalang murahan.’’
’’Pujiannya indah sekali, Paman. Tapi saya sudah bertahun-tahun memainkan berbagai peran nakal di teater drama kehidupan.’’
’’Wanita terkutuk!’’
’’Wow! Tepuk tangan pada kaum sok suci yang mengotori birokasi dengan janji dan korupsi.’’
Tertunduk malu. ’’Apa maumu?’’
’’Tidak susah namun cukup mustahil bagi anda.’’
’’Sebutkan saja!’’
’’Kembali pada hati nurani.’’
’’Binatang, memangnya kau punya?’’
’’Tidak lagi saat aku melihat wajah busukmu, Paman.’’
’’Dasar manusia suka iri! Memangnya kenapa kalau aku korupsi?’’
’’Pejabat gendut, diam. Jijik. Najis aku bicara denganmu terus. Tunggulah sampai kereta datang dan melebur tubuhmu di rel ini.’’
Meronta-ronta, histeris, gelisah, dan pasrah. ’’Tolong saya! Tolong saya! Saya janji akan kembali ke hati nurani. Saya tidak akan korupsi lagi.’’
’’Terima kasih atas doamu, Paman. Sayang perut buncitmu begitu menggiurkan jika dilindas kereta.’’
Wajah tembem lelaki itu jadi semakin gelisah dan putus asa. ’’Oke. Apa pun itu, aku berjanji akan berusaha menindak semua tindakan korupsi di Indonesia.’’
’’Terlambat, Sayang. Ini akan jadi pertunjukkan seru. Seharusnya kau hargai usahaku untuk membuatmu mati lebih terhormat.’’
’’Mayang. Maafkan aku! Maafkan istriku yang telah membunuh ibumu.’’
Hening. Setetes perih menjalari sukma perempuan itu. Sesap ketegaran dan tolak tipu daya, lekas! ’’Saya sudah memaafkan itu, tapi apakah rakyat negeri ini bisa?’’
Tuuuuutttt!!!!! Kereta menderu-deru. Meniupkan terompet malaikat kebijakan pembawa maut.
’’Mayang.’’ Tangis, amarah, dan ketakutan jadi satu dalam tubuh lelaki tua itu.
’’Nikmatilah, Paman.’’ Mayang pergi menjauh sebelum kereta semakin mendekat.
Rintihan pelan namun perih dan keras menembus kebekuan rel kereta beberapa saat kemudian. Besi tua kereta dan bebatuan sekitarnya merasakan kehangatan merah darah yang baru saja diperah. Sayang, mereka sangat murka pada darah itu. Bahkan anjing pun enggan menjilat darah sang koruptor.
Lelaki muda muncul dari balik pohon dekat rel kereta. Lelaki itu aku, Arjuna, yang sedari tadi menyaksikan itu semua dari kejauhan. Aku raih tangan Mayang lalu kugenggam erat.
’’Terima kasih sudah membantuku, Mayang. Dulu dia juga membunuh ibuku dan membakar kampung kami demi kebun sawit.’’
’’Dengan senang hati, Arjuna.’’ sahut Mayang sambil menghapus air matanya.

*Dosen Departemen Sejarah, Universitas Negeri Malang. Novel terbarunya: Artefak Rindu (Jagat Litera, 2021)

Categories: Berita

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *